Ulasan Novel Serenade di Musim Dingin : Bisa Dinikmati Sambil Minum Teh


Resensi Serenade di Musim Dingin karya Heri ST

Sudah lama sekali, sejak dua tahun lalu, saya tidak menulis panjang. Kali ini kembali menulis suatu pandangan mengenai sebuah novel dari kawan karib saya, Heri ST

Kami berkawan sejak duduk di bangku kuliah di Rawamangun. Kami satu jurusan. Tak disangka dia kirimkan saya sebuah paket berisi novel karyanya, Serenade di Musim Dingin. 

Dia minta saya untuk berikan pendapat soal novelnya itu. Telat betul sebenarnya saya menuliskan ini, padahal skema kritik terhadap novelnya sudah saya tulis tahun lalu. –Maaf ya, Heri-

Mari kita mulai dari budaya. Sebagai individu yang berada di dalam
kelompok masyarakat tentu selama ada hayat akan bersinggungan dengan budaya atau kebudayaan.

Individu sebagai makhluk sosial biasanya masuk dalam suatu hal yang kompleks mencakup hukum, norma, adat, kepercayaan (agama), dan kesenian yang dipelajari dari anggota masyarakat, begitulah pendapat E.B Taylor.

Dalam tulisan Katrin Bandel yang berjudul Spiritualitas, Agama, dan Komunikasi Lintas Budaya, dia menjelaskan bahwa salah satu  kategori kebudayaan yang kerap menjadi perbedaan adalah “Barat” versus “Timur”.  

Dalam tulisannya, Katrin menyebut budaya “Timur “ dipandang sebagai budaya yang lebih spiritual, lebih religius, dan lebih tradisional. Sedangkan, budaya “Barat” dinilai sebagai budaya yang lebih bebas, tidak terlalu memikirkan nilai religiusitas, dan kerap dinilai lebih modern.

Dalam Serenade di Musim Dingin, Heri berhasil membawa “Timur” dan “Barat” dalam jalinan cerita, tetepi masih kurang memberikan gambaran secara detail mengenai tentang  “Timur” dan “Barat”, gagasannya hanya dibawa sepintas lalu dalam karakter dan dialog para tokoh. 

Sehingga pembaca belum merasakan gambaran utuh mengenai keduanya. Menariknya, Heri memberikan kita sejumlah perspektif kebudayaan dalam aspek kepercayaan atau agama.

Novel itu mencerikatan perjalanan wanita bernama Nina yang musti menyelesaikan ruwetnya masalah hidup sebagai seorang penerima beasiswa yang diperuntukkan bagi golongan tidak mampu. Semacam beasiswa Bidik Misi. 

Nina diceritakan sebagai wanita salihah yang supel, religius dan bertanggung jawab. Meskipun Nina mengenakan jilbab syar’i yang cukup panjang, dia mudah bergaul dengan siapa saja. 

Alih-alih menggambarkan wanita yang lemah sebagai pengguna jilbab syar’i, Heri mendobrak karakter Nina dengan menggambarkan sosok yang ambisius dan tangguh menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, seperti memilih ambisi untuk berkuliah atau mengubur mimpinya itu di kampung halaman membantu keluarga.

Karakter Nina semakin kuat dengan hadirnya sejumlah tokoh-tokoh dalam hidupnya, seperti Sang Ayah yang meminta anak sulungnya untuk mengubur saja mimpi berkuliah, karena Sang Ayah cukup realistis dengan tak adanya biaya hidup untuk memcukupi dua adik Nina.

“Kamu berhenti kuliah ya, Nduk. Tinggal di sini bantu bapak ngurus semua-mua yangbapak ndak bisa,” (hlm 113) kata Bapak Nina dalam dialog yang cukup sengit  dengan anak perempuannya itu.

Heri menggambarkan Nina sosok yang cerdik, rasional, lembut, dan hormat kepada orang tua melalui dialog berikut,”Kita ga punya banyak pilihan. Rumah ini juga bukan punya Bapak kan? Pasti jadi objek warisan yang diperhitungkan beberapa orang?”. 

Dialog itu saya rasa sebagai penguat karakter Nina yang tak pantang menyerah, meskipun ambisinya berkuliah dipatahkan Sang Ayah.

Di sisi lain, Heri menghadirkan tokoh yang bernama Shafira (beragama islam). Sosok yang ceria, pemberani, berpikiran terbuka, dan suka bermusik yang juga merupakan budaya “Barat”. 

Penampilan Shafira di awal-awal pun digambarkan seperti wanita modern kebanyakan yang memakai celana jins. Saya menilai Heri memasukkan budaya “Barat” melalui karakter Shafira. Budaya “Barat” yang terlukis dalam novel ini adalah penokohan Shafira. 

Kebiassan Shafira yakni bersalaman dengan lawan jenis, pulang larut malam tanpa ditemani mahramnya (perempuan atau laki-laki yang masih termasuk samak saudara dekat karena keturunan), tentu saja tidak memakai jilbab, dan tidak sereligius Nina.

Novel ini saya golongkan sebagai novel romen. Karena, ada kisah percintaan pada tokoh utama yakni Nina dan Karim. Adapun sosok Karim menjadi tokoh pria paling disorot dalam novel ini. Saya menilai Heri berhasil memahat karakter Karim.

Penggambaran karakter Karim sangat jelas, sehingga pembaca dapat menangkap imajinasi Heri dengan sosok Karim yang religius, pandai, dan tegas. Semua itun Heri tampilkan dalam dialog Karim dengan tokoh liannya.

Tidak heran jika heri piawai betul memberikan nuansa religiusitas yang kental dalam novel ini, karena Heri merupakan mantan Anggota FSIKU (Forum Studi Islam Khidmatul Ummah di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNJ.

Membaca novel ini membawa saya kembali merasakan suasana saat kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) UNJ. Saya dan Heri satu angkatan, kami hanya berbeda kelas di JBSI. 

Tidak terkejut juga saat Heri mengambil latar gedung Q dalam novel ini. Namun, sayang sekali, pengalaman Heri berkuliah di jurusan sastra Indonesia belum mampu menyuguhkan penggambaran detail tentang gedung Q tempat anak JBSI berkuliah.

“Karim, mahasiswa Bahasa Arab buru-buru menuju Lab. Bahasa di lantai 2 Gedung Q Fakultas Bahasa dan Seni UNJ,” (hlm. 6)

Hanya itu saja penggambarannya. Suasana pada awal novel ini pun kurang terbangun, lantaran Heri terlihat lebih menonjolkan dialog ketimbang penggambaran detail latar. Padahal, membangun imajinasi pembaca tidak kalah penting. 

Apabila Heri mau menulis lebih detail lagi tentang penggambaran bangunan dan peningkatan suasana di awal novel, saya yakin itu akan lebih memikat.

Buat saya yang berkuliah di sana tentu saja sudah tau persis seperti apa bentuk dari gedung mahasiswa sastra itu. Saya ingat betul detail-detail lokasinya, karena saya pernah berada di sana.

Namun, apa jadinya dengan pembaca lain yang belum pernah menyambangi gedung Q? Tak ada bayangan. Imajinasi tentang gedung Q hanya dalam pikiran pembaca masing-masing.

Ya, begitulah menurut saya setelah membaca novel Serenade di Musim Dingin milik Heri. Kesimpulannya, saya rasa Heri masih kurang jam terbang dalam mempertajam pembangunan suasana dan latar demi imajinasi pembaca. 

Meskipun demikian, novel ini tetap bisa kamu nikmati sambil minum teh sore-sore, karena kamu sebagai pembaca tak perlu berpikir keras dan dapat menebak dengan mudah mau dibawa ke mana cerita ini.

Sekian.
Salam hangat.
Ilma de Sabrini


Komentar

  1. makasih Ilma De Sabrini... sobat gue yang jeli bgt dalam menilai karya sastra. thnks berat pokoknya udah niat bgt bikin tulisan ini. gak nyangka sampe seserius itu bikinnya. :D

    -Heri ST

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer