Renungan di Bulan Bahasa : Bahasa Daerah Mundur Teratur




Masih bulan Oktober, bulan yang diperingati sebagai bulan Bahasa. Sebagai anak jurusan bahasa dan sastra Indonesia, saya merasa gatal jika tidak menulis soal ini.

Mari kita mulai dari cerita diri saya. Saya telahir di desa dan besar di kota metropolitan. Bisa dibilang saya beruntung soal urusan bahasa.

Setidaknya saya bisa menguasai empat bahasa - berkat  keadaan dan lingkungan -  yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jawa, dan Sunda. Keren tidak? Apakah biasa saja?

Menurut sebagaian besar teman Indonesia saya hal tersebut bukanlah hal luar biasa. “Kan itu bahasa daerah. Banyak yang bisa kan?” ujar seorang teman saat bertemu di sebuah kedai kopi. Bagaimana menurut kalian?

Tidak heran, maklum di Indonesia bahasa daerah dianggap memiliki ‘derajat’ lebih rendah dibandingkan bahasa Indonesia. Sedangkan puncak hirarki bahasa diduduki oleh bahasa Inggris dan bahasa asing.

Seorang teman Amerika saya (yang mengambil jurusan linguistic) menilai bahwa orang Indonesia memiliki kemampuan berbahasa yang baik, “Orang Indonesia itu kalau mengenai bahasa hebat banget. Mereka bisa mengusai bahasa lebih dari satu atau dua bahasa. Saya hanya bisa satu bahasa, bahasa Inggris saja,” kata dia sambil terkekeh.

Dia mengatakan di Amerika sendiri tidak miliki banyak bahasa seperti halnya di Indoensia. Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mencatat setidaknya Indonesia miliki 652 bahasa daerah.

Banyak betul ya. Angka-angka tersebut belum termasuk dalam bahasa-bahasa daerah yang sudah punah.

Kini penutur bahasa daerah sudah makin sedikit. Hal tersebut disebabkan lantaran bahasa daerah yang dituturkan tidak diturunkan ke generasi selanjutnya. Ironisnya, hal tersebut merupakan dampak dari penggunaan bahasa Indonesia yang masif.

Ditambah lagi dalam keluarga tidak menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian, sehingga bahasa daerah makin mundur teratur. Padahal keluarga berperan penting dalam pelestarian bahasa daerah.

Lalu, bagaimana kedudukan bahasa Indoenesia sendiri di negara kita? Saat ini bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa negara. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.

Jadi, tidak heran bahwa bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa daerah. Namun, kita juga tidak dapat menyalahkan bahasa itu sendiri, karena bahasa memiliki sifat yang dinamis dan selalu berkembang bersamaan dengan kebudayaan masyarakat itu sendiri.

Meskipun demikian, sudah menjadi kewajiban bersama sebagai warga negara Indonesia untuk tetap melestarikan bahasa daerah.

Untuk melakukan pencegahan kemunduruan bahasa daerah, pemerintah dapat mengupayakan memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan sekolah hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dulu saat masih di sekolah dasar (SD) saya diajarkan bahasa Sunda, akan tetapi pelajaran bahasa daerah tersebut terhenti di tingkat menengah pertma (SMP). Hal tersebut patut disayangkan.

Untuk para penutur bahasa daerah, jangan malu ketika kita berbahasa daerah dan memiliki logat daerah yang khas. Karena hal itu merupakan salah satu nilai keberagaman Indonesia. Berbahasa daerah juga dapat mempererat persaudaraan antar suku.

Semoga para penutur bahasa daerah tetap dapat meneruskan bahasa daerah yang dikusainya kepada generasi selanjutnya. Agar bahasa daerah makin bergerak maju, bukan mundur teratur. Selamat merayakan Bulan Bahasa, kawan-kawan. :)

 

Komentar

Postingan Populer